KAPITAN PARANG PATAH

10:45 AM
Mendengar kata "kapitan" dalam percakapan sehari - hari orang Maluku tentu identik dengan keperkasaan dan kepiawaian seorang laki - laki dalam seni berperang, tapi bagaimana dengan istilah Kapitan Parang Patah ? apa yang terniang dalam benak anda ?

Expektasi yang paling mendekati terhadap ungkapan tersebut adalah mungkin saja ada seorang kapitan yang berperang beradu parang salawaku dengan musuhnya hingga parangnya patah. Sayang sekali artikel tahuribabunyi kali ini tidak membahas mengenai kuat dan santunnya kabaresi dalam medan perang.

Ungkapan Kapitan Parang Patah yang dimaksud adalah sebuah majas metafora dengan makna kesusahan dan penderitaan dalam perjuangan untuk tetap bertahan hidup.  Derita dan susah seperti apa ?

Bagi anda yang hidupnya serba berkecukupan memang tidak akan pernah memikirkan hal semacam ini, apalagi untuk andayang hidup di daerah perkotaan misal; Ambon, Masohi, Tual, Saumlaki dll.

Namun taukah basudara kalau dalam negri - negri terpencil di tanah Maluku ini terdapat sesama kita yang hidupnya sangat susah setengah mati ? bahkan untuk ibu melahirkan atau rumah duka saja harus menunggu berhari - hari untuk akses perahu ataupun truk pada negri pantai dan negri gunung.

Seperti realita pada negri kecil di Kab. Seram Bagian Barat, Huku Anakota. Negri yang memiliki hubungan Pela Keras dengan negri Tihulale ini terbilang sangat tertinggal dalam banyak hal khususnya infrastruktur sehingga sangat berpengaruh pada pola hidup masyarakat, diantaranya :

#1 Akses & Infrastruktur

membuat medan kasar supaya bisa dilintasi mobil

Jika berpatokan dari negri Hunitetu menuju Huku Anakota, maka jarak tempuh kurang lebih 9 Km dengan medan turun naik, tikungan kiri, tikungan kanan dan tentunya jalan yang sangat ambur-adul untuk dilintasi kendaraan roda dua maupun roda empat.

#2 Pendidikan 

Jika dibanding dengan pelajar Kota Ambon, Huku Anakota masih tertinggal jauh dalam hal pendidikan, sehingga wajar kalau ada sebagian warga yang menyekolahkan anak - anak mereka di tempat lain, itupun melalui hubungan kekeluargaan sehingga si pelajar bisa sekolah dan menetap di rumah saudara.

#3 Kesehatan

Sangat sulit untuk mendapat fasilitas medis seperti obat - obatan khusus penyakit batuk dan flu pada musim wabah. Hal ini belum termasuk jika ada warga yang memiliki penyakit kronis, ibu melahirkan, imunisasi dan bahkan penanganan orang meninggal. Memang mereka bisa bertahan dengan pengobatan tradisional, tapi sampai kapan ?

#4. Tempat tinggal

Untuk akses semen, batako, dan besi saja dengan susah payah, apalagi bermimpi untuk membangun rumah layaknya kita yang berada di daerah perkotaan ? Mereka membangun rumah dengan alat seadanya dan bahan yang didapat dari hasil hutan mereka sendiri, namun tetap saja pada musim cuaca buruk seperti badai, mereka dalam kondisi berjaga - jaga karena khawatir terjadi longsor atau ada pohon yang rubuh.

#5. Cara mereka bertahan hidup ?

Dari jaman penjajahan, perang Huamual, bencana - bencana alam, lahirnya negru Huku dan Huku Anakota sampai sekarang ini, mereka bertahan hidup hanya dengan satu cara yaitu LAENG LIA LAENG, LAENG SAYANG LAENG ! 

Huku Anakota
Huku Anakota
akses jalan menuju negri Huku Anakota
Huku Anakota
Huku Anakota
packing hasil damar
Huku Anakota
membuat tandu untuk orang meninggal

Contoh di atas baru satu negri gunung, belum negri gunung lainnya, negri pantai, negri - negri pelosok yang tersebar banyak di seantero Maluku ini. Semoga kedepan, pemerintah juga bisa lebih fokus untuk pembangunan negri - negri adat. Miris kalau kita yang terkenal dengan adat PELA GANDONG ini hidup dalam ketidakseimbangan sosial. Parang tajam pun bisa patah dengan mudah kalau yang memegangnya tidak piawai.


---------------------
note : Dangke spesial voor bung Hehakaya Kayahu yang telah bersedia berbagi pengalaman dan foto dokumentasi ketika bertugas di Huku Anakota.



#tahuribabunyi
 
Copyright © tahuribabunyi. Designed by OddThemes