Derita dan Semangat 1575

Tidak terasa, dalam beberapa hari lagi, bulan agustus dalam tahun ini akan segera berakhir. Itu berarti kita telah menyongsong HUT RI dan Provinsi Maluku yang ke 71 tahun. Sebagian besar event - event perayaan dalam skenario spesial bulan ini pun telah berakhir dan tentunya menyisakan makna mendalam bagi seluruh lapisan masyarakat. Tidak untuk Maluku khususnya Kota Ambon yang akan memasuki bulan september atau lebih tepatnya 7 september yang merupakan HUT kota tercinta.

Adalah fakta bahwa Kota Ambon lahir dalam kondisi minoritas, lika - liku politik adu domba, derita penjajahan hingga berbagai perang yang telah dilalui sehingga menjadi bagian penting dalam sejarah internasional.

Selama halebih dari 400 tahun, kota kecil ini telah lahir dan eksis, bersaing dalam persaingan globalisasi hingga modernisasi berbalut keterpurukan sebagai golongan kota 'tertinggal' dalam jajaran sistem pemerintahan RI.

Maluku sebagai satu dari delapan provinsi tertua negara kita ini pun seakan tidak mampu berkontribusi baik dalam program pemerataan pembangunan. Alasan paling krusial adalah anggaran pembangunan dari berbagai aspek yang hanya terpusat pada ibu kota negara atau bahkan pulau Jawa. Tiga daerah dengan emisi statistik kemiskinan terbesar di Maluku misalnya, yaitu; MTB, MBD dan Kep. Aru lebih dari cukup untuk menjadi acuan introspeksi akan sistem pemerintahan dan management pengolahan daerah yang masih harus direfitalisasi secara obyektif dan harmonis mengingat ketiga daerah tersebut justru memiliki potensi sumber daya alam yang luar biasa, baik darat maupun laut.

Untuk tetap menjaga koridor identitas orang Maluku dan mengambil komitmen berkontribusi positif, ada baiknya kita tengok sejenak bagaimana proses terbentuknya Kota Ambon.

1575 merupakan tahun dimana kekuasaan Portugis masih gemilang sehingga dibangunlah sebuah benteng di dataran Honipopu. Pembangunan benteng ini tidak terlepas dari campur tangan beberapa mata rumah yang kemudian menjadi soa. Karena alasan keamanan dan lokasi yang cukup strategis yaitu di "Kota Laha" maka soa yang ada di sekitaran benteng tersebut mulai bertambah banyak dan terbentuklah sistem pemerintahan kecil tapi sistematis yang masih kental dengan adat dan budaya. Seiring berjalannya waktu, orang - orang dari Maluku Utara seperti Halmahera mulai berdatangan ke pulau Ambon, begitupun dengan orang - orang di daerah lain bahkan dari pulau Jawa juga ada yang berimigrasi ke kota kecil tersebut.

artikel lawas mengenai perjuangan A.Y. Patty

Hingga pada masa Alexander Jacob Patty (A.Y. Patty), Ambon mulai mendapatkan hak yang setara dengan sistem pemerintahan kolonial Belanda atau dengan kata lain, Ambon diberikan kebebasan untuk mengatur sistem pemerintahannya sendiri.

Sepenggal sejarah di atas sekaligus menjadi bukti bahwa dalam keadaan terpuruk sekalipun (dijajah berbagai bangsa), Ambon mampu menyatakan eksistensi diri pada dunia.

Mirisnya, sudah lebih dari 4 abad tetapi kota ini masih tergolong tertinggal dalam negara kita. Apa yang salah ? apa yang kurang ? mengapa bisa seperti ini ? apakah politik adu domba yang masih terus berlangsung ? ataukah tidak ada lagi semangat 1575 ketika para pendahulu bersatu meski dalam kondisi dijajah ?

Beragam taraft pembangunan daerah yang kemudian menjadi prediktor kesejahteraan orang Maluku di jaman sekarang sudah lebih kompleks daripada sebelumnya sehingga membutuhkan kerjasama yang imbang dan solid antara seluruh lapisan masyarakat maupun pemerintah daerah terlebih bagi generasi muda yang merasa punya ikatan kuat pada gunung tanah dan mau berkarya bagi tampa putus pusa hingga kelak akan menjadi pemimpin - pemimpin yang memiliki semangat juang para pendahulu demi kontinutas pembangunan daerah yang beregenerasi ke arah yang lebih baik.

Maluku butuh ale deng beta !


#tahuribabunyi

Share this:

 
Copyright © tahuribabunyi. Designed by OddThemes